Oleh: Abu Ahmad as Salafi hafizhahullah
Kitab al Hikam yang ditulis oleh Ibnu Atho’illah as Sakandari adalah kitab yang sangat popular di dunia dan juga di Indonesia. Kitab ini banyak dikaji di pondok-pondok pesantren dan bahkan di dalam siaran-siaran radio di banyak kota di Indonesia.
Kitab yang populer ini ternyata di dalamnya terdapat banyak sekali penyelewengan terhadap syari’at Islam. Karena itulah, insya Allah dalam pembahasan kali ini akan kami jelaskan kesesatan-kesesatan kitab ini sebagai nasihat keagamaan bagi saudara-saudara kami kaum muslimin dan sekaligus sebagai jawaban kami atas permintaan sebagian pembaca yang menanyakan isi kitab ini. Sebagai catatan, cetakan kitab yang kami jadikan acuan dalam pembahasan ini adalah cetakan Penerbit Balai Buku Surabaya.
Penulis Kitab Ini
Penulisnya adalah Abul Fadhl Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atho’ullah as Sakandari.
Aqidah Wihdatul Wujud
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 18-21:
“Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat ditutupi oleh sesuatu, padahal Dia yang terlihat di dalam segala sesuatu? Bagaimana akan dapat di bayangkan bahwa Allah dapat di hijab oleh sesuatu, padahal Allah yang dzhohir sebelum adanya sesuatu? Bagaimana akan mungkin dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih nampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin akan dihijab oleh segala sesuatu, padahal Dia lah Yang Esa (tunggal) yang tidak ada bersamanya segala sesuatu?
Penulis juga berkata dalam hikmah nomor 46:
“Telah ada Allah, dan tiada sesuatu pun bersama-Nya, dan Dia kini sebagaimana ada-Nya semula.”
Kami katakan:
Ini adalah aqidah wihdatul wujud yang batil dan kufur. Aqidah tersebut merupakan kelanjutan daru pemikiran hulul. Pemikiran hulul dicetuskan pertama kali oleh Husain bin Manshur al Hallaj, ialah pemikiran kelompok Sufi yang menetapkan bahwa Allah menjelma pada segala sesuatu.
Menurut keyakinan wihdatul wujud tidak ada sesuatu pun kecuali Allah, segala sesuatu yang ada adalah penjelmaan Allah, tidak ada pemisahan antara al Kholiq dan makhluk. Keyakinan ini berasal dari pemikiran Hindu, Buddha, dan Majusi, sedangkan Islam berlepas diri dari keyakinan sesat ini.
Para pencetus pemikiran ini terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok yang memandang bahwasanya Allah azza wa jalla adalah roh dan bahwasanya alam adalah jisim (jasad) dari roh tersebut. Jika seorang manusia telah menyucikan dirinya maka dia akan bersatu dengan roh yaitu Allah.
Kelompok yang lain beranggapan bahwa seluruh yang ada di alam semesta tidak ada hakikat bagi wujudnya kecuali wujud Allah.[1] Mereka berkata,”Selama Allah adalah hakikatnya wujud alam yang nampak ini maka semua keyakinan yang ada adalah haq, berarti semua agama kembali kepada satu aqidah, yaitu bahwa semua agama adalah sama dan semua agama adalah benar!”
Para ulama kaum muslimin sepakat tentang kufurnya kelompok Sufi yang menganut keyakinan wihdatul wujud dan hulul. Demikian juga mereka (para ulama) mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan pemikiran-pemikiran ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Kekufuran mereka ini lebih besar daripada kekufuran orang-orang Yahudi, Nasrani dan Musyrikin Arab.” [2]
Berdo’a Kepada Allah Berarti Menuduh Allah
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:
“Permintaanmu dari Allah adalah menuduh Allah (khawatir tidak memberi kepadamu), dan permintaanmu untuk-Nya adalah ketidakhadiran-Nya darimu.”
Kami katakan:
Bagaimana dikatakan bahwa meminta kepada Allah adalah hal yang tercela, padahal Allah telah memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya (yang artinya):
“Rabbmu berfirman : ‘Berdo’alah kepada-Ku pasti Aku kabulkan untuk kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina-dina.” [QS.Ghofir/40:60]
Bahkan Allah akan murka kepada orang-orang yang tidak mau meminta kepada-Nya sebagaimana di dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah ta’ala maka Allah murka kepadanya.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’ nya:5/456, dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:2418]
Seorang penyair berkata:
“Allah murka jika engkau tidak minta kepada-Nya, sedangkan manusia ketika diminta maka dia marah.” [3]
Maka meminta kepada Allah adalah salah satu ibadah yang mulia sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Do’a itu ibadah.” [HR.at Tirmidzi dalam Jami’-nya: 5/211 dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan shohib. Hadits ini dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohihul Jami’:3407)
Bolehkah Berdalil Atas Adanya Allah Dengan Adanya Alam Semesta?
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 29:
Jauh berbeda antara orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam, dengan orang yang berdalil bahwa adanya alam inilah yang menunjukkan adanya Allah. Orang yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukkan adanya alam adalah orang yang mengenal haq dan meletakkan pada tempatnya, sehingga menetapkan adanya sesuatu dari asal mulanya. Sedang orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah, karena ia tidak sampai kepada Allah. Maka bilakah Allah itu ghaib sehingga memerlukan dalil untuk mengetahuinya? Dan bilakah Allah itu jauh sehingga adanya alam itu dapat menyampaikan kepadanya?
Kami katakan:
Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya dan kemudian untuk beribadah semata-mata kepada-Nya. Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kamu bersujud kepada matahari dan janganlah (pula kamu bersujud) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu benar-benar hanya kepada-Nya beribadah.” [QS.Fushshilat/41:37]
Dan Allah azza wa jalla berfirman (yang artinya):
“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Tuhan) yang telah menjadikan untukmu bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, serta menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan air itu Dia menghasilkan segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengangkat sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” [QS.al Baqarah/221-22]
Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Hanya Pencipta segala sesuatu yang ada inilah yang berhak disembah dengan segala macam ibadah.” [4]
Ber-istidlal (berdalil) dengan adanya alam untuk menunjukkan keberadaan Allah adalah manhaj (metode) para imam Ahli Sunnah wal Jama’ah:
Al Imam Malik rahimahullah ditanya oleh Harun ar Rosyid tentang dalil atas wujudnya Allah maka beliau berdalil dengan perbedaan bahasa, suara dan nada.
Al Imam Abu Hanifah rahimahullah ketika ditanya oleh orang-orang zindiq tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil tentang alam semesta yang sangat teratur yang tidak mungkin kecuali ada penciptanya.
Al Imam asy Syafi’i rahimahullah tatkala ditanya tentang dalil atas keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah daun yang jika dimakan oleh ulat sutera maka akan mengeluarkan sutera, dan jika dimakan oleh lebah maka akan mengeluarkan madu, dan jika dimakan oleh kambing dan sapi maka akan mengeluarkan kotoran, dan jika dimakan oleh kijang misik maka akan mengeluarkan minyak misik, ini menunjukkan atas keagungan Pencipta.
Al Imam Ahmad rahimahullah keika ditanya tentang keberadaan Allah maka beliau berdalil dengan sebuah telur yang mati yang keluar darinya makhluk yang hidup. [5]
Ilmu Kasyaf
Penulis berkata dalam hikmah nomor 162-164
“Tempat terbitnya berbagai nur cahaya Ilahi itu dalam hati manusia dan rahasia-rahasianya. Nur cahaya yang tersimpan dalam hati itu datangnya dari nur yang datang langsung dari pembendaharaan yang ghaib.”
Kami katakan:
Inilah yang disebut sebagai Ilmu Kasyaf yang digambarkan oleh Ibnu ‘Arabi dengan perkataannya: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna di sisi kami dalam maqom ilmu sehingga ilmunya di ambil langsung dari Allah azza wa jalla…maka bukanlah ilmu melainkan yang berasa dari kasyaf dan syuhud.” [6]
Kaum sufi menyandarkan ajaran agama mereka kepada hawa nafsu mereka yang mereka namakan dengan kasyaf dan ilham. Mereka benar-benar menjauhi ilmu yang diambil dari para ulama Sunnah. Abu Yazid al Busthomi berkata kepada para ulama zamannya: “Kalian mengambil ilmu dari para ulama tulisan dari yang sudah mati dari yang sudah mati, sedangkan kami mengambil ilmu dari Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan pernah mati, kami katakan: “Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Tuhanku!” [7]
Perkataan para dedengkot Sufi di atas menunjukkan betapa amat jahilnya mereka akan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan manhaj yang haq. Perkataan mereka ini mengandung ajakan kepada kaum muslimin agar meninggalkan semua kitab-kitab hadits yang mengandung sanad-sanad yang tsabit (terpercaya) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena para pemilik riwayat-riwayat ini sudah meninggal dunia, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri juga sudah meninggal dunia. Perkataan mereka ini sangat membahayakan Islam dan kaum muslimin meskipun tampak seolah-olah perkataan yang tidak berarti.
Beramal Tanpa Mengharap Pahala
Penulis berkata di dalam hikmah nomor 255:
“Bukanlah seorang yang mencintai itu yang meminta apa-apa dari yang dicintai, melainkan seorang yang cinta kasih itu sesungguhnya ialah yang berkorban untukmu, bukan yang engkau beri apa-apa kepadanya.”
Penulis juga berkaa di dalam hikmah nomor 265:
“Bagaimana engkau akan meminta upah terhadap sutu amal yang Allah sendiri menyedekahkan kepadamu amal itu, atau bagaimanakah engkau minta balasan atas suatu keikhlasan padahal Allah sendiri yang memberi hidayah keikhlasan itu kepadamu?
Kami katakan:
Demikianlah kaum Sufi melandaskan ibadah hanya pada mahabbah (kecintaan) dan mengabaikan segi yang lainnya seperti khouf dan roja’, sebagaimana perkataan sebagian mereka: “Aku menyembah Allah bukan karena mengharap surga dan takut kepada neraka.”
Tidak syak lagi bahwasanya kecintaan kepada Allah adalah landasan ibadah. Hanya, ibadah tidak lah terbatas pada mahabbah saja. Masih banyak segi-segi lain ibadah seperti khouf, roja’, khudhu’, do’a dan lain-lain. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Ibadah adalah nama yang meliputi semua yang dicintai dan diridhoi oleh Allah dari perkataan dan perbuatan yang tampak dan tidak tampak.”
Allah menyifati para nabi dan rosul-Nya bahwasanya mereka beribadah kepada Allah dan bahwasanya mereka selalu mengharap rahmat Allah dan takut kepada Allah (yang artinya):
“….Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya.” [QS.al Isra’/17:57]
Dan diantara do’a yang sering diucapkan oleh penghulu anak Adam Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah:
“Ya Allah, aku meminta kepada-Mu surga serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya, dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka serta (dari) perkataan dan perbuatan yang mendekatkan kepadanya.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-Nya: 2/1264 dan dishohihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shohih Sunan Ibnu Majah]
Penutup
Inilah yang bisa kami paparkan dengan ringkas kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam kitab al Hikam. Sebetulnya masih banyak kesalahan lain kitab ini yang perlu dijelaskan tetapi insya Allah yang telah kami paparkan sudah bisa memberikan peringatan kepada kita tentang hakikat kitab ini.
Semoga Allah selalu menjadikan kita termasuk orang-orang yang mendengarkan nasihat dan mengikutinya. Aamiin. Wallahu A’lam bishshowab.
Note:
[1] Shufiyyah Mu’taqadan wa Maslakan hal.206-207
[2] Majmu’ Fatawa: 2/296
[3] Ibid
[4] Tafsir al Qur’an al-‘Azhim: 1/76
[5] Tafsir Ibnu Katsir: 1/77-78
[6] Thobaqoh Sya’roni: 1/5
[7] Ibid
Sumber: Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 10 Thn.XIII, Jumadil Ula 1430/Mei 2009, Hal.40-43
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
0 Comments:
Posting Komentar